Kamis, 06 Juni 2013

Pemberdayaan Masyarakatdan Kearifan Lokal



Pemberdayaan Masyarakat

a.    Pengertian pemberdayaan masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.  Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 
·        Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. 
B.    PROSES PEMBERDAYAAN
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:  
1.     Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan)
2.     Mampu mengarahkan dirinya sendiri
3.     Memiliki kekuatan untuk berunding
4.     Emiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan 
5.     Bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
c.    Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pe mberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.

Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia

Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.
Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun, dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk menghadapi perubahan sendirian.
Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001).
Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya.
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.
KERIFAN LOKAL
Sebagaimana kita tahu, Indonesia terletak diantara dua samudra dan dua benua. Menjadikan negara tersebut memiliki keanekaragaman suku dan budaya.Pembangunan di Indonesia sebenarnya sudah meningkat setiap tahunnya, namun sayangnya belum merata di setiap daerah. Salah satu penyelesaian yang mungkin dilakukan adalah, pembangunan dengan mengutamakan kearifan lokal dan kearifan budaya lokal.
 Apakah Kearifan Budaya Lokal itu? 
Menurut Direktur Afri-Afya, Caroline Nyamai-Kisia, kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaanDalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu lama.

Jadi, untuk melaksanakan pembangunan disuatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah  "ikon" atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat didaerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah tersebut.
Dan apakah yang akan terjadi setelah itu? Pembangunan tersebut akan tidak tepat sasaran, bahkan mungkin akan menyengsarakan rakyat dan tidak membawa kemajuan berarti karena ketidak pahaman pemerintah terhadap kearifan lokal maupun kearifan budaya lokal pada daerah tersebut. Seperti halnya pertambangan emas di wilayah timur Indonesia.  Mungkin mereka membawa keuntungan bagi negara, tapi bagaimanakah tingkat kesejahteraan penduduknya? Nampaknya mereka masih ada pada garis kemiskinan yang mengakibatkan kurangnya pendidikan. Pembangunan yang tepat bukan berarti menghilangkan adat istiadat atau menghilangkan kekayaan budaya pada suatu daerah, tapi sebenarnya, memajukan potensi dan kekayaan yang ada pada daerah tersebut. Sebab, jika pembangunan malah menghilangkan adat istiadat, maka bisa dipastikan bahwa bangsa tersbut akan kehilangan jati dirinya. Contoh pembangunan yang memanfaatkan kearifan lokal adalah diperbaharuinya fasilitas pada daerah penghasil garam di Madura. Fasilitas yang diperbaharui antara lain adalah jalan, listrik dan pelabuhan. Tidak hanya itu, Sumber Daya Manusianya juga semakin diperbaharui dengan peningkatan mutu keterampilan.
Dengan begitu, tidak hanya berdampak positif didaerah Madura saja, negara ini juga tidak perlu mendatangkan garam dari luar negeri. bahkan mungkin, suatu saat garam di Madura mampu menjadi salah satu daerah penghasil garam andalan se ASEAN atau bahkan sedunia. Hal yang cukup bijak untuk menghemat pengeluaran dan meningkatkan mutu dalam negeri.


Komunikasi Massa



            Komunikasi Massa adalah Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Komunikasi massa adalah salah satu aktivitas sosial yang berfungsi di masyarakat. Unsur- unsur dalam komunikasi massa adalah:
a.             komunikator, 
b.             media massa.
c.             informasi (pesan).
d.             gatekeeper.
e.             khalayak (publik) dan 
f.              umpan balik.

Komunikasi dengan masyarakat secara luas (komunikasi Massa) Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas. Bentuk kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara :
a.                   komunikasi melalui media massa seperti radio, surat kabar, TV, dsbnya.
b.                  Langsung atau tanpa melalui media massa Misalnya ceramah, atau pidato di lapangan terbuka.

Komunikasi massa, yaitu komunikasi dengan sasarannya kelompok orang dalam jumlah yang besar, umumnya tidak dikenal. Komunikasi masa yang baik harus :
a.       Pesan disusun dengan jelas, tidak rumit dan tidak bertele-tele.
b.      Bahasa yang mudah dimengerti/dipahami.
c.       Bentuk gambar yang baik.
d.      Membentuk kelompok khusus, misalnya kelompok pendengar (radio).

Bahan Praktikum DDPT



http://kliniksawit.com/images/stories/Hama/bb.jpg

Klasifikasi                                 

Kingdom            : Animalia

Phyllum              : Chordata

Subphylum         : Vertebrata

Classis                : Mammalia

Ordo                   : Artiodactyla

Familia               : Suidae

Genus                 : Sus

Spesies               : Sus scrofa

 



                                                                       
Seekor Babi hutan jantan dewasa biasanya bergerak dan mencari makan sendiri (soliter), sedangkan yang betina hidup bersama dengan anak-anaknya dalam kelompok 4-50 ekor. Musim kawin ditandai dengan bergabungnya babi hutan jantan dewasa dengan kelompok betina. 
Seekor babi hutan betina dapat beranak sampai 12 ekor dengan masa bunting 110 hari. Induk babi tersebut dapat beranak lagi setelah 7-8 bulan setelah masa beranak sebelumnya (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997). Mereka menggunakan suaranya untuk berkomunikasi, termasuk untuk memperingatkan adanya bahaya (alarm call) yang mengancam

Habitatnya meliputi kisaran geografis yang sangat beragam, pada hampir semua ekosistim, mulai dari padang alang-alang, semak belukar, hutan sekunder, hutan payau, hingga hutan pegunungan. Salah satu komponen habitat yang diperlukan oleh babi hutan adalah air dan lumpur, yang digunakan sebagai tempat berkubang. Aktivitas berkubang tertinggi terjadi pada jam 11.00 – 13.00, dan frekuensi aktivitas mencari makan tertinggi terjadi pada jam 05.00 – 07.00 dan 16.00 – 18.00. Daya jangkau terjauh dari serangan babi hutan terhadap perkebunan kelapa sawit adalah 693 m dari tepi hutan dengan rata-rata 522 m.

Jenis babi hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa vittatus. Jenis lain adalah Sus barbatus atau babi janggut, tetapi jarang dijumpai Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S. barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang tegak di sekeliling kepalanya. Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan badannya tidak berbelang.

Babi hutan merupakan jenis hama mammalia penting pada perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya satwa ini bukanlah merupakan penghuni tetap pada ekosistim perkebunan kelapa sawit. Kerusakan yang ditimbulkannya pada kelapa sawit hanya merupakan efek sekunder dari kehadirannya pada kebun sawit. Mereka adalah salah satu penghuni tetap hutan.
Babi hutan terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda atau yang baru ditanam, karena mereka menyukai umbutnya yang lunak. Timbulnya serangan babi hutan pada tanaman kelapa sawit tidak semata-mata karena populasinya yang tinggi di habitatnya dalam hutan yang berdekatan, tetapi erat hubungannya dengan sifat satwa liar ini yang rakus. Selain memakan umbut mereka juga memakan buah sawit yang sudah membrondol di tanah, dan tandan buah di pohon yang masih terjangkau. Dilaporkan bahwa kematian tanaman muda akibat serangan babi hutan di Aceh diperkirakan 15,8%. Selain itu, serangannya juga menyebabkan kerusakan pada perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah dan mendorong timbulnya penyakit akar.
http://kliniksawit.com/images/stories/Hama/bb_g.png