Pemberdayaan Masyarakat
a.
Pengertian pemberdayaan masyarakat
Para
ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang
berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada
definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat
secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya,
kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang
memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
·
Robinson (1994) menjelaskan bahwa
pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan
pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995)
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti
memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang
berdaya.
B.
PROSES PEMBERDAYAAN
Pranarka
& Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kecenderungan
pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna
pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog”.
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
1. Mampu
memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi
perubahan ke depan)
2. Mampu
mengarahkan dirinya sendiri
3. Memiliki
kekuatan untuk berunding
4. Emiliki
bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan, dan
5. Bertanggungjawab
atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci
bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu,
mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi,
mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani
mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak
sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang
memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan
dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
c.
Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pe mberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pe mberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait
dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang
ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan
mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya
yang bersifat fisik/material.
Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia
Reformasi yang telah bergulir sejak
tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika
pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan
sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat
dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang
secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti
tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan
aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam
pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.
Menurut Prof. Ginandjar
Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah
merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral
dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah
telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan
antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih
menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya
secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar
Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara
lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat,
masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar
mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Sebagaimana kita alami, era ini
merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, penuh
resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau
komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri,
atau mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara
komunitas, terkecil sekalipun, dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin
sulit bagi seorang individu untuk menghadapi perubahan sendirian.
Sejak tahun 1960, lahir sebuah
konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya
disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam
rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan
berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States
Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan
menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan
bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat
mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan
kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference
for Community Development, 2001).
Pengembangan otonomi daerah yang
diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat sesuai dengan konsep
yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep
pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam
mengimplementasikannya.
Pendekatan dalam pemberdayaan
masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength
Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam
permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya
tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah,
penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan
tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang
baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan
atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain,
pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk
metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk
menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah
metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang
positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh
dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry
dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh
tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan
dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah
organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan
organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik.
Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk
memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius,
dan menciptakan perdamaian.
KERIFAN LOKAL
Sebagaimana kita tahu, Indonesia terletak diantara dua
samudra dan dua benua. Menjadikan negara tersebut memiliki keanekaragaman suku
dan budaya.Pembangunan di Indonesia sebenarnya sudah meningkat setiap tahunnya,
namun sayangnya belum merata di setiap daerah. Salah satu penyelesaian
yang mungkin dilakukan adalah, pembangunan dengan mengutamakan kearifan lokal
dan kearifan budaya lokal.
Apakah Kearifan Budaya Lokal itu?
Menurut Direktur Afri-Afya, Caroline
Nyamai-Kisia, kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan
dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan
pemahaman mereka terhadap alam.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaanDalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu lama.
Jadi, untuk melaksanakan pembangunan disuatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah "ikon" atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat didaerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah tersebut.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaanDalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu lama.
Jadi, untuk melaksanakan pembangunan disuatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah "ikon" atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat didaerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah tersebut.
Dan apakah yang akan terjadi setelah itu? Pembangunan
tersebut akan tidak tepat sasaran, bahkan mungkin akan menyengsarakan rakyat
dan tidak membawa kemajuan berarti karena ketidak pahaman pemerintah terhadap
kearifan lokal maupun kearifan budaya lokal pada daerah tersebut. Seperti
halnya pertambangan emas di wilayah timur Indonesia. Mungkin mereka
membawa keuntungan bagi negara, tapi bagaimanakah tingkat kesejahteraan penduduknya?
Nampaknya mereka masih ada pada garis kemiskinan yang mengakibatkan kurangnya
pendidikan. Pembangunan yang tepat bukan berarti menghilangkan adat
istiadat atau menghilangkan kekayaan budaya pada suatu daerah, tapi sebenarnya,
memajukan potensi dan kekayaan yang ada pada daerah tersebut. Sebab, jika
pembangunan malah menghilangkan adat istiadat, maka bisa dipastikan bahwa
bangsa tersbut akan kehilangan jati dirinya. Contoh pembangunan yang
memanfaatkan kearifan lokal adalah diperbaharuinya fasilitas pada daerah
penghasil garam di Madura. Fasilitas yang diperbaharui antara lain adalah
jalan, listrik dan pelabuhan. Tidak hanya itu, Sumber Daya Manusianya juga
semakin diperbaharui dengan peningkatan mutu keterampilan.
Dengan begitu, tidak hanya berdampak positif didaerah Madura saja, negara ini juga tidak perlu mendatangkan garam dari luar negeri. bahkan mungkin, suatu saat garam di Madura mampu menjadi salah satu daerah penghasil garam andalan se ASEAN atau bahkan sedunia. Hal yang cukup bijak untuk menghemat pengeluaran dan meningkatkan mutu dalam negeri.
Dengan begitu, tidak hanya berdampak positif didaerah Madura saja, negara ini juga tidak perlu mendatangkan garam dari luar negeri. bahkan mungkin, suatu saat garam di Madura mampu menjadi salah satu daerah penghasil garam andalan se ASEAN atau bahkan sedunia. Hal yang cukup bijak untuk menghemat pengeluaran dan meningkatkan mutu dalam negeri.